KISAH GURU INSPIRATIF YANG BERJUANG DI DAERAH PEDALAMAN INDONESIA
BERIKUT INI sebuah Kisah Hidup seorang ‘guru perempuan cantik’ dalam pengabdiannya — yang diceritakan kepada saya dalam sebuah kesempatan saat kami bersama di suatu acara yang sangat ‘istimewa’. Saya katakan istimewa, karena tidak banyak guru yang mendapatkan kesempatan seperti itu, terutama untuk bisa bertemu apalagi untuk bisa berbagi cerita dengan saya. Hhmmm… hebat bukan? He.He…
Cerita dan kisah tersebut saya tuliskan kembali dalam “bahasa dia”, semoga bermanfaat kepada rekan-rekan guru semua. Saya juga mohon maaf jika dalam menulis hasil “curhat”-nya agaknya sedikit telah dibumbui dengan bahasa yang indah agar menarik untuk dinikmati, namun tidak mengurangi “isi dan nilai” dari kisah itu. Semoga Berkah !
DENGAN BAHASA sederhana, serius dan kata-kata penuh makna, “guru cantik” itu mulai bercerita. HARI ITU, delapan tahun yang lalu dengan segala idealisme yang diusung dari kampus, setelah menamatkan kuliah pada Universitas ternama di daerah ini dengan mendapatkan sebuah gelar kesarjanaan, saya coba menelusuri terjalnya Jalan Berliku menuju ke tempat tugas sebagai ‘wadah pengabdian’ dengan segudang misi dan harapan mulia.
Jalannya sungguh sangat sulit, karena kiri kanan jalan curang yang sangat terjal yang dikelilingi gunung dan perbukitan. Namun demi sebuah cita pengabdian semua itu saya lewati dengan indah tanpa sedikitpun beban yang kurasakan. Tergelincir, jatuh, lalu bangun lagi telah menjadi bumbu wajib yang mewarnai perjalanan awal itu dan hal ini hampir saja meruntuhkan mimpiku untuk menjadi “guru sesungguhnya”. Hatiku berpikir, jika kita berniat baik, Insya Allah kita akan dimudahkan dengan berbagai cara oleh Pemilik Alam ini.
Saya sangat yakin itu. Melewati hembusan angin gunung yang begitu menusuk akhirnya saya bisa mencapai Desa atau tempat dimana berdirinya sebuah sekolah, SMP Negeri ……. (disebutkan), satu dari sekian sekolah terpencil yang ada di kabupaten pegunungan tersebut. Sebuah bangunan yang “megah” di tengah desa berdiri kokoh di antara rindangnya pohon kopi dan lainnya, seolah menyadarkan saya bahwa sebuah keajaiban telah terjadi di tempat ini. Subhanallah !
Bayangkan! Sebuah tempat terpencil yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua (Itupun kalau pengemudinya siap jatuh), kondisi tanahnya jelek, airnya sulit, listriknya tidak jelas dan komukasinya mati hidup, bisa membangun sebuah sekolah megah yang bahkan pembangunanya di audit oleh sebuah lembaga negara dan mungkin juga oleh LSM di era reformasi ini.
Setelah bertemu dan berbagi cerita dengan para guru dan masyarakat, akhirnya saya tahu bahwa mereka hanya mau membatu anak-anak mereka untuk “menjemput impiannya”. Saya begitu tersentuh, bahkan sampai detik ini ketika sudah mulai ada sedikit perubahan pada desa itu.
Sering kami para guru dikritik karena mengaku kalah pada keadaan itu, tidak disiplin, dan tidak bertanggung jawab pada profesi yang diemban. Kadang-kadang saya dicaci oleh orang tua wali, dan bahkan kadang-kadang Kepala Sekolah dan Kepala Dinas juga ikut-ikutan memarahi kami guru.
Tapi itu semua kami terima dengan senyuman, meskipun kadangkala kami juga sering meneteskan air mata saat kembali ke rumah. Akan tetapi kami tetap bertahan untuk berjalan meskipun terseok-seok untuk menjalani sebuah tugas besar tanpa cap dan meterai enam ribu yakni membantu “anak di pegunungan” dalam rangka menjemput mimpi mereka.
Tidak semudah membalikan telapak tangan, mungkin kalimat ini sudah “ter-instal mati” pada memori anak-anak pegunungan ini. Pagi, makan nasi jagung, siang, masih menu yang sama (syukur kalau ada indomi); malam, minum kopi plus makan ubi bakar. Dan ini menjadi rutinitas yang harus dijalani untuk meraih mimpi besar itu. Melihat mereka, kadang mau menangis terutama saat mereka berebutan cahaya pelita waktu belajar.
Kadang juga mau marah pada nenek moyang tanah ini, kenapa harus membuat anak cucu kalian menderita di tempat ini, ketika pemerintah menerapkan untuk direlokasi. Tapi sudahlah, para nenek moyang itu pasti punya alasan yang mungkin jauh lebih berarti ketimbang rasa simpati kita yang kadang sirna seiring waktu. Semoga saja itu membawa berkah dan rahmatnya bagi penguhi tempat itu. Insya Allah, Aamin.
Saya harus bertahan dan bertahan lagi, karena tugas besar itu butuh guru yang tahan banting, butuh guru yang siap dikritik, dimarahi dan dicerca, meskipun saya hanya seorang perempuan, yang senjatanya menangis. Air mata itu selalu tumpah saat saya mengeluh pada ‘mama dan kekasihku tercinta’. Anak-anak itu dan tatapan mata mereka yang penuh harapan itu, begitu menusuk sampai ke dalam kalbu seolah berkata “kami harus berlari ke mana lagi dan kepada siapa lagi untuk meraih mimpi kami, kalau bukan pada bapak dan ibu guru kami, jangan lupakan kami Pak Guru dan Bu Guru ?”
Sayapun akhirnya terjebak di antara dua pilihan, menjadi guru yang baik untuk anak didik di sekolah atau menjadi tua keluarga yang baik bagi anak dan “suami atau kekasih” di rumah? Tapi, sekali lagi saya harus menjadi “guru besar” yang bisa memilih keduanya. Bahagia bersama anak didik dan juga bahagia bersama kekasih dan suami tercinta. Alhamdulillah, bisa saya jalani dengan baik atas kedua pilihan itu.
Teman-teman seperjuanganku begitu gigih mengajar, melatih, membina dan mendidik walau cuma menjadi guru honor dengan gaji dibawah standar UMR. Saya sendiri beruntung, telah diangkat sebagai “pegawai nanggroe” dan baru beberapa waktu yang lalu, Alhamdulillah – sayapun telah diberikan ‘penghargaan’ oleh pemerintah untuk mengikuti program PLPG sebagai salah satu syarat untuk bisa disebut ‘guru profesional’, dan bahkan saya sekarang lagi mempersiapkan diri untuk melanjutkan studi magister ke Pulau Jawa. Itulah harapan dan keinginan saya setiap saat, tak seorangpun mampu membendung niat saya itu.
Sementara itu, semangat mereka yang masih guru honor saja begitu besar bahkan hampir kalah karena masalah tunjangan khusus yang tidak pernah dirasakan. Mereka tulus mengabdi, dengan mengharapkan pahala dari Allah. Kami juga berharap selayaknya pemerintah daerah turut memperhatikan kehidupan mereka. Saya teringat kata dosen saat masih kuliah dulu, ‘pemerintah dibentuk untuk melayani dan mensejahterakan rakyatnya, bukan hanya pemerintah yang pintar dalam ‘memerintah dan marah-marah’. Pengabdian mereka, yaitu guru pada dunia pendidikan begitu luar biasa meskipun selalu kurang dihargai dimata masyarakat dan pejabat setempat. Dan bersama mereka, saya selalu tersenyum dan tertawa mengisi kisah anak-anak di daerah pegunungan itu.
Tahun demi tahun berlalu, dan anak-anak pegunungan itu telah pergi meninggalkan airmata terimakasih mereka untuk dikenang. Tapi bersama guru lainnya, saya harus tetap disini menemani anak-anak pegunungan berbeda generasi yang punya harapan dan tujuan yang sama.
Meskipun dalam hati ini, selalu ingin segera pindah agar semakin dekat dengan keluarga dan mesra setiap saat dengan “kekasihku”. Namun semua itu masih belum bisa terwujud dengan berbagai sebab dan alasan. Saya harus bersabar karena masih dibutuhkan oleh pimpinan dan orang-orang yang menyayangi saya di tempat ini. Semoga Allah Swt memberikan kami kekuatan, agar mampu menjalani tugas pengabdian ini. Kalau “pengab” hampir tiap hari kami alami, tetapi “dian”nya – entah kapan dapat kami terima dengan indah. Wallahu ‘aklam Bissawab.
Cerita tentang semua kekurangan, baik itu air, listrik, komunikasi, makan-minum, sarana prasarana adalah getir yang harus kami nikmati bersama-sama lagi dengan senyum dan tawa bersama teman-teman. Tiba-tiba pada suatu hari, anak-anak pegunungan itu datang. Dengan penuh semangat mereka mencium tangan kami dan bercerita tentang petualangan mereka. Begitu bangga mereka berkisah; “Guru, anak-anak desa kami sekarang, ada yang jadi ibu rumah tangga, ada yang jadi tukang ojek, ada yang jadi guru, ada yang jadi dokter, ada yang jadi suster, ada yang masih kuliah dan ada yang sedang mencari jati diri”.
Mudah-mudahan mereka semua menjadi insan yang bermartabat. Begitulah do’aku setiap saat untuk anak-anak didikku. Kemudian mereka pergi lagi sambil berucap, “Terima Kasih Guru !” Saat itu, saya tertegun sejenak, sambil meneteskan airmata, kemudian berujar dalam hati…”Terima Kasih Tuhan, Karena Sudah Membantu Anak-Anak Pegunungan Itu Dalam Menjemput Mimpi indahnya”. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan kami kekuatan dan jalan yang terbaik untuk menjalankan pengabdian kepadaNya. Amin, Ya Allah
Belum ada Komentar untuk "KISAH GURU INSPIRATIF YANG BERJUANG DI DAERAH PEDALAMAN INDONESIA"
Posting Komentar